MELAKSANAKAN PEKERJAAN IBADAH Oleh : Dr. H. Imam Taufiq, M.Ag. *)
Alhamdulillah, puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan kesempatan kepada kita untuk menikmati kehidupan. Bersyukurlah kita karena kita dapat menggunakan kesempatan hidup yang telah diberikan oleh Allah kepada kita untuk beribadah kepadanya. Mudah-mudahan ibadah kita diterima oleh Allah SWT, dan kiranya dapat memasukkan kita ke dalam golongan hamba-hamba Allah yang bertakwa; sebab salah satu ciri orang yang bertakwa adalah orang yang menegakkan shalat.
Saya mengajak kepada diri saya sendiri dan kepada jamaah seluruhnya, marilah kita meningkatkan kualitas takwa kepada Allah dengan sebenar-benar takwa, yakni berusaha dengan sekuat tenaga menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangannya. Meningkatkan kualitas taqwa, seorang muslim berarti meningkatkan pemahaman dan pengamalan ajaran agamanya secara baik dan lebih sempurna. Islam mengarahkan umatnya agar memilikietoskerja yang tinggi dan mengarah pada profesionalisme.
Salah satu kunci keberhasilan dakwah Nabi Muhammad SAW adalah melaksanakan ibadah model transformatif. Sosok pribadi yang menjadi panutan setiap umat Islam, Nabi Muhammad SAW mengajarkan setiap tindakan dan perbuatan haruslah bernilai ibadah. Sebagai penanggungjawab kemakmuran dunia (khalifah fi al-ardh) harus memantapkan dalam diri, bahwa misi utama manusia di muka bumi adalah untuk mengabdi atau ibadah kepada Allah. Wa ma khalaqtul jinna walinsa illa liya’budun. Niat ibadah ini harus menjadi pondasi dalam setiap langkah kehidupan. Pertanyaannya sekarang adalah apa yang disebut ibadah dan aktivitas – aktivitas apa yang dapat dikategorikan sebagai ibadah?”.
Ibadah sesungguhnya adalah sesuatu yang sifatnya spiritual atau transendental; Ibadah itu bukanlah amal perbuatan yang hanya berhubungan dengan Allah SWT saja. Akan tetapi, ibadah itu juga berhubungan dengan sesama manusia, bahkan berhubungan dengan alam sekitar. Inilah sebabnya dalam pandangan Islam, bekerja itu sifatnya transendental atau ukhrawi bukan semata – mata bersifat duniawi. Kalau pekerjaan itu transenden artinya perkerjaan itu dinilai nyata di dunia dan juga bernilai juga di akhirat. Bolehlah dikatakan, jika pekerjaan dilaksanakan dengan asal – asalan, maka pekerjaan itu bukan dikatakan sebagai ibadah.
Ada beberapa syarat mendapatkan pekerjaan yang profesional dan bernilai ibadah. Pertama; pekerjaan itu harus didorong oleh niat mencari keridhaan Allah SWT. Pekerjaan karena Allah adalah bekerja yang didedikasikan untuk Sang Khaliq. Beraktivitas sesungguhnya untuk melaksanakan perintah Allah, itulah ibadah. Tidak untuk kepentingan dunia semata, tetapi menjadikan kepentingan dunia sebagai perantara kepentingan Allah, kehendak Allah dan keridaan Allah. Dalam kitab Ta’limul Muta’allim dikatakan :
“Banyak perbuatan yang tampak sebagai perbuatan duniawi berubah menjadi perbuatan ukhrawil antaran niat yang bagus. Banyak pula perbuatan yang terlihat sebagai perbuatan ukhrawi bergeser menjadi perbuatan duniawi lantaran niat yang buruk.”
Aktivitas dan pekerjaan disebut ibadah sesungguhnya yang bernilai transformatif, artinya mampu membawa lebih maju dan lebih baik. Ibadah sebenarnya lebih luas dari pada sekedar ada atau iming – iming pahala. Kalau ibadah itu hanya untuk mencari pahala, maka ini ibadah minimalis atau ibidah yang berkualitas rendah. Sebab orang beribadah itu, ada tiga tingkatannya: 1) Beribadah karena takut mendapat marah. Misalnya, takut dimarahi atasan karena tidak melakukan pekerjaan dengan baik dan benar. Takut masuk neraka jika tidak melakukan amalan tertentu. Niat ibadah dengan cara seperti ini sudah bagus, hanya belum bagus betul. 2) Beribadah karena mengharapkan pahala. Beribadah itu karena mengharapkan upah, maka dipilihlah ibadah yang besar ganjarannya. 3) Beribadah karena ikhlas dan senang. Melaksanakan ibadah dengan senang dan niat ikhlas inilah yang mengandung nilai transformative dalam pekerjaan.
Syaratkedua; pekerjaan itu dihitung ibadah bila pekerjaan itu berorientasi pada kualitas atau mutu. Dulu, ibadah itu sangat mudah sekali yakni hanya karena Allah Swt, titik. Sekarang, bentuk pekerjaan itu selain karena Allah Swt. Juga harus berorientasi mutu atau kualitas. Kalau sengaja mengerjakan sesuatu tetapi tidak memedulikan kualitasnya itu bukanlah ibadah.
Misalnya pada surat Hudayat 7 disebutkan :“Dia yang menjadikan mati dan hidup agar Dia menguji kalian siapa yang lebih baik amalnya. Maka di situ ada amal tapi amal bagi orang yang sudah teruji, itu tatkala orang yang banyak amal baiknya”.
Dalam al-Qur’an banyak dijumpai ayat – ayat yang mengajak bekerja dengan orientasi kualitas dan profesional. Diantaranya QS. al-Jatsiah/45:30 yang berbunyi :
“Adapun orang – orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, maka Tuhan mereka memasukkan mereka ke dalam rahmat – Nya. Itulah kemenangan yang nyata.” (QS. al-Jatsiah, 45:30)
Manusia yang beriman dan bekerja dengan baik, akan melahirkan karya – karya yang bermanfaat bagi sesamanya, disebutkan al-Qur’an sebagaimanusia yang paling baik dan terpuji. Sesungguhnya manusia yang paling mulia adalah yang paling banyak memberikan manfaat bagi sesamanya dan makhluk lain secara menyeluruh.
“Sesungguhnya orang – orang yang beriman dan melakukan pekerjaan yang baik, mereka itu adalah sebaik – baik makhluk.” (QS. al-Bayyinah, 98:7)
Ayat lain dalam al-Qur’an, QS. al-Buruj, 85:11 menyebutkan bahwa orang-orang yang beriman dan bekerja secara baik dan professional akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Dua kebahagiaan itu merupakan suatu kemenangan yang agung yang kita dambakan.
“Sesungguhnya orang-orang yang berimandanmengerjakanamal-amal yang salehbagimerekasurga yang mengalir di bawahnyasungai-sungai; itulahkeberuntungan yang besar.” (QS. al-Buruj/85:11)
Ada sebuah kisah yang diceritakan dalam kitab Nashaih al ‘Ibad karya Syekh Nawawi al-Bantani, yaitu saat pertemuan Al-Ghazali dengan seekor lalat. Alkisah, suatu saat seseorang bermimpi berjumpa Imam Al-Ghazali, yang saat itu beliau sudah wafat. Dalam mimpi itu orang tersebut bertanya tentang nasibnya setelah meninggalkan dunia ini. Imam al-Ghazali kemudian menjawab pertanyaan orang itu dengan sebuah cerita bahwa di hadapan Allah ia ditanya tentang bekal apa yang ia persiapkan untuk bertemu sang Khaliq. Al-Ghazali pun menyebut satu per satu semua prestasi ibadah yang pernah ia jalani di kehidupan dunia.
Di luar dugaan, Allah ternyata menolak itu semua amal ibadahnya. Kecuali satu kebaikannya, yaitu ketika bertemu dengan seekor lalat, dan karenanya ia mendapat kemuliaan surga.
Pertemuan dengan lalat yang dimaksud dimulai ketika Imam al-Ghazali sedang tengah sibuk menulis kitab. Seekor lalat yang haus ini mengurangi konsentrasi sejenak lalu hinggap kewadah tinta. Sang Imam yang merasa kasihan lantas berhenti menulis untuk member kesempatan silalat melepas dahaga dari tintanya itu.
“Masuklah bersama hamba-Ku kesurga,” kata Allah. Ada pesan yang sangat kuat dalam hikayat Imam Al-Ghazali dan lalat ini. Bahwa ternyata titik tekan dalam ibadah bukanlah pada berapa banyak yang sudah dilakukan melainkan bagaimana kualitas ibadah yang kita jalankan. Islam menitik beratkan pada kualitas, bukan hanya kuantitas. Tentu saja ibadah dengan kualitas dan kuantitas yang besar sekaligus, akan lebih utama.
Demikianlah tulisan yang singkat ini saya sampaikan. Semoga apa yang saya sampaikan ini dapat memberikan panduan bagi kita umat Islam untuk mengisi kehidupan yang lebih baik, membangun hidup yang lebih berkualitas dan melaksanakan amal menjadi profesional. Kita mulai dari niat ikhlas dan senang karena Allah dan kita isi perkerjaan dan aktivtas kita dengan bobot kualitas yang tinggi. Semoga Allah Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa membimbing dan mengantarkan kita menjadi insan – insan yang bermanfaat bagi masyarakat dengan aktivitas kita yang berkualitas. Aamiin ya Rabbal ‘Alamin. *****
Copyright 2021-2024, All Rights Reserved
Leave Your Comments