HUBUNGAN ANTARA RAMADHAN DENGAN SYAWAL Oleh : Dr. HM. Navis Junalia, MA. *)

Bersama-sama marilah terus kita tingkatkan kwalitas/mutu dan bobot ketakwaan kita kepada Allah swt, kita terus coba tingkatkan kecerdasan kita agar semakin bisa memahami ilmu-ilmu dan petunjuk Allah, sekaligus kita mengamalkan ilmu itu dengan sebaik-baiknya dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup kita sehari-hari. Kita terus pompa hati kita ini agar semakin jernih dan bening sehingga dalam hati kita muncul kesadaran akan kehadiran Allah, hati kita selalu terpaut dengan Sang Pencipta sehingga kita merasa begitu dekat dan kedekatan itu akan semakin bisa mempengaruhi cara bersikap dan bertindak kita sehingga sikap dan tindakan itu akan bisa dipedomani, diilhami dan diatur melalui nilai-nilai yang diberikan oleh Allah swt. Kita terus motivasi dan memfasilitasi bahwa setiap tindakan kita orientasikan agar mendatangkan manfaat, nilai tambah dan dampak yang positif di manapun kita berada. Kwalitas takwa dengan perincian seperti itulah yang akan menghantarkan kita menjadi hamba Allah yang terkasih dan orang-orang yang bertakwa kepada Allah yang pada saatnya dijamin dimana kehidupannya akan senantiasa lapang, dunianya akan indah dan bermakna, sedangkan akhiratnya akan senantiasa bisa dilalui dengan penuh kebahagiaan, kesejahteraan, dan ridho dari Allah swt.

Salah satu kwalitas ketakwaan adalah kita berusaha terus meningkatkan bobot syukur kita kepada Allah swt, yakni seberapa jauh hati kita ini sadar dan insyaf karena begitu banyak nikmat Allah swt yang telah kita terima dan seberapa jauh kita mampu menggunakan kenikmatan-kenikmatan itu sesuai dengan Sang Pemberi Nikmat. Kwalitas syukur seperti ini sangatlah penting, dimana baru saja kita menerima nikmat yang sangat besar yaitu kenikmatan bulan Ramadhan dengan segala isi ibadahnya. Bulan Ramadhan merupakan kenikmatan yang terbesar, karena tidak ada bandingan pahala yang disediakan Allah di luar Ramadhan yang melebihi hebatnya bulan Ramadhan. Bahkan Allah swt menyatakan : Pada saat bulan Ramadhan tiba dan orang yang penuh dengan dosa bertaubat/memohon ampun ke hadirat Allah dengan sungguh-sungguh, maka detik itu juga dosa-dosanya akan rontok diampuni oleh Allah swt. Barangsiapa mencari dan ingin menemukan-Ku, maka detik itu juga Aku akan datangi dia dengan penuh Rahmat dan kasih sayang-Ku. Dan barangsiapa berbuat baik di bulan Ramadhan maka Allah akan memerintahkan Malaikat juru tulis untuk menulis dengan pahala yang berlipat ganda. Ini artinya seberapa besar dosa hamba dan seberapa salah perjalanan hidup manusia, maka Allah membuka pintu taubat pada bulan Ramadhan yang baru saja kita lalui dan sekiranya hal itu bisa kita manfaatkan dengan baik, maka insya-Allah kita akan bisa keluar dari dosa itu sebagaimana seorang anak bayi yang keluar dari gua garba ibunya, bersih tanpa dosa.

Oleh sebab itu, kesyukuran kita khususnya yang telah banyak melakukan dosa dan memang disinyalir mempunyai dosa yang banyak maka kwalitas syukur itu sangatlah penting karena Allah swt sedang menggandeng tangan kita untuk keluar dari dosa menuju pada suasana yang terang dan penuh dengan pahala.

Nikmat selanjutnya yaitu kita telah dituntun oleh para Salafus Shalihin (para Ulama-ulama yang arif) bahwa di Indonesia terdapat sebuah tradisi Halal bi Halal yang didesign bahwasannya ada sebuah ketentuan dosa-dosa yang diampuni oleh Allah swt adalah dosa yang dilakukan langsung antara hamba dengan Allah, sedangkan dosa antar hamba dengan sesama hamba Allah swt baru akan mengampuni sejauh orang-orang yang telah berbuat dosa itu mengampuni dosa-dosa kita. Maka terjadilah tradisi yang sangat indah yakni setiap muslim dengan muslim lainnya bisa bertemu dalam sebuah majelis/forum dimana orang memberikan maaf begitu ringan dan indah. Disamping itu orang berdosapun bisa terhapus dosanya dengan sebuah mekanisme yang sangat cerdas dan tidak membawa korban kejiwaan manusia lantaran mereka begitu enteng untuk memaafkan orang lain. Hal ini tentu menjadi filosofi yang dalam karena memang Allah menunjuk dengan firman-Nya “wal ‘aafiina ‘aninnaas” :

Artinya : “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”. (QS. Ali Imran/3 : 134)

Kualifikasi ketakwaan yang tinggi bukanlah orang yang meminta maaf, tetapi orang yang suka dan berani memberi maaf orang-orang yang berbuat salah. Sekiranya hal ini sudah kita tunaikan, maka dosa secara vertikal dengan Allah sudah bersih dan dosa horizontal kita dengan sesama manusiapun juga bersih, maka jadilah kita menjadi hamba-hamba Allah yang suci lagi bersih.

Namun ada sebuah rahasia, kenapa bakda Ramadhan Allah menamakan bulan ini dengan “Syawal” ?. Syawal oleh para Ulama diterjemahkan dengan “bulan kemajuan/ bulan pergerakan/bulan pengembangan”. Ini mengandung arti sebuah nikmat lain yang kita terima dari Allah swt bahwa ketika kita menjadi orang yang bersih maka ada kecenderungan kita menjadi kotor. Ketika kita sempurna maka justru kita cenderung akan menjadi berkurang sebagaimana disampaikan melalui atsar Sayyidina Abu Bakar Ash Shiddiq ra ketika beliau menyatakan : “Ketika segala sesuatu sudah sempurna maka tidak lama lagi ia akan cenderung menjadi berkurang”. Secara empiric, kitapun menyaksikan kehidupan umat Islam pasca Ramadhan cenderung juga mengalami penurunan, kita sungguh-sungguh menyaksikan sebagian umat ketika di bulan Ramadhan begitu ringan mengeluarkan shodaqoh karena dia telah mendengar sabda Rasul bahwa : “Semulia-mulia shodaqoh adalah shodaqoh di bulan Ramadhan”, maka shodaqohnya di bulan Ramadhan bisa dibilang tak terhitung, tetapi begitu Ramadhan berakhir dan bulan Syawal tiba orang yang bershodaqoh ini belum tentu sebanyak dan se-semangat sebagaimana ia bersedekah di bulan suci Ramadhan.

Orang sering mengendalikan dan memenej lisannya untuk tidak menyakiti fihak lain, lantaran di bulan Ramadhan seolah-olah dia ingin mengatakan pasca Ramadhan saja giliran aku akan menyakiti kamu. Begitu banyak fenomena-fenomena yang lain bahwasannya pasca Ramadhan cenderung mengalami penurunan, ada sebuah proses dimana kwalitas keberagamaan umat Islam cenderung mengalami penurunan dan itulah sebabnya Allah masih saja menurunkan rahmat-Nya dengan jalan membikin simbol sebuah bulan agar kita sadari pada bulan tersebut kita tidak boleh lengah untuk melakukan sebuah motivasi yang lebih tinggi, sehingga kita mampu melaksanakan sebuah pembaharuan, pengembangan, dan kemajuan, hal ini oleh sebagian ulama dinyatakan sebagai “Ziyadatul khoir” (tempat-tempat untuk menambah kebaikan). Jika bisa kita sebut ini sebagai nikmat maka pada saat yang sama ini adalah sebuah tantangan, dan apakah kita mampu ?. Setidak-tidaknya Allah swt tidak akan membiarkan kita membangun masa depan tanpa sebuah petunjuk dan sudah begitu banyak Allah swt memberikan petunjuk kepada kita, oleh karenanya kita harus sadar bahwa waktu sangatlah penting artinya bagi kita. Bahkan Allah memberikan isyarat di berbagai ayat dengan menggunakan kalimat sumpah, seperti : wal ‘ashri, wadh dhuha, wal fajri, wal laili dan ini semua mengandung arti bahwa Allah telah bersumpah : demi waktu ashar, demi waktu shubuh, demi waktu dhuha, dan demi waktu malam dimana sesungguhnya Allah ingin mengajak kita bahwa arti sebuah waktu sangatlah penting. Jika kita tidak mampu menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya, maka waktu-lah yang akan melindas dan membinasakan kita.

Ini artinya setiap mukmin harus lebih berhati-hati dan pandai memenej waktu yang masih tersisa pada diri kita masing-masing. Bagi yang sudah menginjak usia tua, kita dituntun supaya betul-betul menyadari bahwa durasi hidup tidak akan lama lagi, sebaliknya bagi yang masih muda jangan terlalu optimis bahwa usianya akan panjang, karena kematian akan bisa datang setiap saat. Oleh sebab itu, mari kita manfaatkan waktu yang masih tersisa ini dengan selalu menanam kebaikan tanpa memandang usia tua ataupun muda, sejauh masih ada kesempatan maka harus kita gunakan untuk mencetak amal salih. Lalu bagaimana kita mencetak amal salih ?. Secara simbolik khatib mengambil firman Allah yang berbunyi :

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (QS. At Tahrim/66 : 6)

Kita coba menelaah kalimat “Quu anfusakum wa ahliikum naaron”, kita diperintahkan oleh Allah untuk menjaga diri dan keluarga dari api neraka, ini sebuah isyarat yang sangat penting bahwa masing-masing individu harus meningkatkan diri dan kwalitas keberagamaan kita harus benar-benar meningkat, dimensi pengetahuan tentang ke-Islaman dan kehidupan harus terus meningkat sehingga umat Islam mampu berada di garda terdepan dalam perkembangan khazanah keilmuwan.

Pada sektor-sektor dimensi amaliyah, setiap saat kita harus terus menabung amaliyah-amaliyah shalih baik yang bersifat ubudiyah mahdhah maupun ibadah yang berdimensi sosial dan politik. Ini semua perlu kita tingkatkan pada level individual.

Namun ini semua dirasa tidaklah cukup, kwalitas keluarga jangan sampai mengerucut, bagi seorang Bapak ini merupakan sebuah pertanda bahwa ia harus menjadi seorang imam yang bertanggungjawab, dipenuhi segala kebutuhan keluarganya baik kebutuhan jasmani maupun rohani, bagi seorang istri yang mesti meningkatkan tingkat ketaatan kepada Allah dan suaminya sekaligus kesigapannya dalam membesarkan putra putrinya pada jalur keagamaan yang berada dalam ridho Allah swt. Dan di saat yang sama, maka keluarga kita haruslah menjadi muqoddimah bagi surgamu. Keluarga yang berdimensi surgawi adalah jika di dalamnya terdapat suami yang salih dan istri yang salihah, dengan demikian maka keluarga ini laksana berada di surga.

Jika Rasul mengatakan : “Ada suami yang salih dan istri yang salihah”, maka mesti didukung dengan pemukiman yang nyaman, bahkan Rasul menyatakan “rumah yang luas dan nyaman”, karena rumah yang nyaman akan memberikan pengaruh dalam meningkatkan kwalitas iman kepada Allah swt. Rumah juga mesti dilengkapi dengan alat transportasi yang nyaman, tidak harus mahal tetapi yang terpenting bisa digunakan untuk bergerak kesana kemari dan tidak membuat derita bagi pemiliknya, ini artinya kendaraan menjadi sesuatu yang sangat penting guna menciptakan keluarga yang hebat. Di samping itu, lebih lengkap lagi manakala kehidupan keluarga kita juga dikelilingi oleh tetangga-tetangga yang salih.

Ke depan, kita semakin dituntut jangan sampai terjadi keluarga muslim yang salih menurunkan sebuah keluarga yang tidak salih, sebagaimana firman Allah dalam surat An Nisa’/4 : 9 yang berbunyi :

Artinya : “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.

Lemah dalam hal ini antara lain : lemah takwanya, ilmunya, ekonominya dan lain-lain. Inilah betapa pentingnya membangun kwalitas ketakwaan kepada Allah, menjadi muslim yang dicintai oleh Allah dan sesamanya, dan pada saat yang sama kita mesti menjadikan keluarga kita sebagai model/contoh sebagai keluarga muslim yang pantas dikenang, diandalkan, dan dikagumi oleh lingkungan.

Insya-Allah apabila pilar dasar ini dapat kita bangun dan kemudian kita terapkan, maka kita bisa berharap masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim ini akan semakin baik dan Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim ini kelak akan mampu menjadi negara yang pantas dicontoh oleh negara-negara lain.

Kita berdoa kepada Allah, semoga masing-masing individu kita mulai menata diri untuk bisa menjadi figur-figur yang patut diteladani dan keluarga kita senantiasa dalam bimbingan Allah swt sehingga tidak saja menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah, tetapi sekaligus mampu memberikan manfaat bagi sesamanya. Amin ya Rabbal ‘alamin. *****

Leave Your Comments

Your email address will not be published.

Copyright 2021, All Rights Reserved