SELAMAT TINGGAL TAHUN 1438 H: “REKAMANMU” ADALAH “BEKAL” PERJALANANKU (221) Oleh Ahmad Rofiq
Assalamualaikum wrwb.
AlhamduliLlah wa sy-syukru liLlah, segala puji dan kekuasaan hanya milik Allah. Mari kita syukuri anugrah dan karunia-Nya. Atas anugrah dan kenikmatan yang diberikan oleh Allah itulah, kita sehat afiat, dapat bersama-sama menorehkan catatan indah di akhir tahun 1438 H. Insyaa Allah sore nanti bersama dengan temaram matahari memasuki peraduannya, kita menjalankan shalat maghrib, berdzikir, bermunajat, dan berdoa memohon kepada Allah, menyambut tahun baru 1439 H. Semoga di tahun baru, semuanya lebih indah, sukses, beruntung, dan bahagia.
Shalawat dan salam mari kita senandungkan mengiringi Allah dan para malaikat yang senantiasa bershalawat untuk Baginda Nabi Muhammad saw. Semoga meluber pada keluarga, para sahabat, dan pengikut yang setia meneladani beliau, dan smeua urusan kita mendapat kemudahan.
Saudaraku, hari ini kita akan mengakhiri catatan buku kita. Mari kita hiasi catatan tutup buku kita dengan catatan terindah. Sehari adalah waktu yang cukup lama. Ini mengingatkan kita pada dialog Rasulullah saw dengan malaikat Jibril, yang membawa kabar tentang Allah akan mengampuni dosa hamba-hamba-Nya manakala hamba bertaubat satu tahun sebelum mati. Lalu Rasulullah saw, memohon kepada Allah untuk memberi pengampunan kepada hamba-Nya, hingga batas waktu yang paling pendek, yakni selama nafas belum sampai tenggorokan. Mengingat waktu satu hari, adalah waktu yang panjang bagi manusia untuk berbuat maksiyat, jika ia tidak mendapat hidayah Allah.
Selesainya tahun 1438 H dan hadirnya tahun 1439 H, adalah hitungan deret waktu, yang berarti memperpendek jarak tempuh waktu kita menuju gerbang kehidupan panjang di akhirat. Hari ini kita diingatkan agar oleh Allah, agar menyediakan waktu untuk melakukan introspeksi diri, muhasabah, apakah jalan kita sudah mampu mengikuti jalan yang lurus (ash-shirath al-mustaqim) jalan orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, bukan jalan orang-orang yang dimurkai oleh Allah (QS. Al-Fatihah: 6-7). Ataukah sebaliknya, kita masih senang melakukan hal-hal yang tidak berguna dan tidak bermanfaat. Padahal Rasulullah saw, sudah wanti-wanti, “jika Anda ingin menjadi orang Islam yang baik, maka tinggalkanlah hal-hal yang tidak ada manfaatnya” (من حسن اسلام المراء تركه ما لا يعنيه) (Riwayat At-Tirmidzi dari Abu Hurairah).
Saudaraku, kita sudah diingatkan oleh Rasulullah saw, bahwa setiap anak cucu Adam sering melakukan kekeliruan dan kesalahan. Nyaris dalam kehidupan kita, tidak mampu menghindari dosa entah besar atau kecil. Mari kita renungkan pesan Allah ‘Azza wa Jalla:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ. وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللهَ فَأَنسَاهُمْ أَنفُسَهُمْ أُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ. الحشر ١٨-١٩
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasiq” (QS. Al-Hasyr: 18-19).
Saudaraku, sepertinya kita sering tidak menyadari. Kota masih “senang” berbuat dosa. Dosa telah membuat diri kita kehilangan keberkahan hidup. Baik keberkahan rizqi, harta, dan apa saja yang kita terima dari Allah. Akibatnya kita kehilangan ketenangan hidup, tergantikan dengan kegelisahan, keserakahan. Kebahagiaan menjadi semu, tergantikan dengan penderitaan karena didera rasa bakhil dan kehidupan materialistik hedonistik, di tengah genangan dan keberlimpahan harta dan materi. Dosa telah membuat kita kehilangan hati nurani, karena telah tergadai dan tergantikan oleh nafsu syaithani, sehingga bersikap, bertutur kata, bertindak, dan bertingkah laku laksana perilaku hewani. Memiliki hati, tetapi sering terpasung oleh dera pan nafsu hewani, kita mempunyai penglihatan, tetapi dibutakan oleh rasa iri dan dengki, kita mempunyai pendengaran, tetapi tidak lagi memiliki kesanggupan untuk mendengar dan menangkap hidayah dan petunjuk Ilahi Rabbi (QS. Al-A’raf:179).
Dosa telah membuat kita kehilangan kepekaan sosial dan kepedulian kepada sesama. Dosa telah melunturkan kasih sayang, berganti kebencian dan permusuhan, bahkan berubah menjadi saling menikam dan saling memangsa. Dan ini yang paling mengerikan, maraknya penyakit “senang melihat orang susah, dan susah ketika mendapatkan orang lain senang”. Dosa telah membutakan mata hati kita, sehingga kita tidak mampu membedakan mana yang haq dan yang bathil, yang haram dan yang halal, yang benar dan yang salah. Dosa telah menyilaukan mata hati dan fikiran. Akibatnya kita sering merasa bangga karena telah menindas orang lain, memusuhi sesama, dan bahkan kehilangan perasaan bersalah ketika melakukan kesalahan, dan yang lebih ironis lagi, justru muncul kebanggaan dan memamerkannya kepada orang lain, ketika kita melakukan tindakan mencuri, korupsi, dan tindakan tercela lainnya.
Dosa telah membuat kita kehilangan rasa takut kepada Allah. Dosa telah menutup mata hati kita, bahwa Allah akan memberikan balasan siksa di akhirat. Dosa memasung kita dari rasa takut kepada Allah, tergantikan oleh rasa cinta kepada materi duniawi. Dosa telah menggiring kita ke lembah kehinaan dan kenistaan yang membuat kehilangan kemuliaan diri kita, yang memiliki amanah kekhalifahan di muka bumi ini, sebagai pembawa dan penyebar kasih sayang di alam raya ini. Masih banyak daftar panjang perbuatan dosa untuk menggugah kesadaran, membuka topeng yang selama ini menutupi aib dan kebusukan diri kita sebagai manusia. Intinya, makin mewabahnya perilaku dosa, akan melahirkan musibah, cobaan, dan ujian, yang sering menimpa saudara-saudara kita yang sesungguhnya mereka tidak ikut bersalah. Implikasinya, lahirlah berbagai macam krisis, krisis akhlak, krisis identitas, krisis nasionalisme, krisis jatidiri, dan krisis kepekaan hati nurani, yang berujung pada krisis peradaban manusia.
Saudaraku, dalam riwayat Anas bin Malik, tanah tempat kita berpijak pun ikut menyindir kita. “Wahai anak cucu Adam, kalian seharian mondar-mandir berusaha mencari kehidupan di atas punggungku, padahal tempat kembali kalian adalah perutku. Kalian melakukan berbagai maksiyat di atas punggungku, ingat kalian kelak akan menangis sedu sedan karena deraan siksa di dalam perutku. Kalian bersorak sorai gembira di atas punggungku, ingat kalian akan bersedih hati di dalam perutku. Kalian menumpuk-numpuk harta di atas punggungku, ingat kalian akan meratapi penuh penyesalan di dalam perutku. Kalian rakus dan pongah di atas punggungku, ingat kalian akan menyesal penuh kerisauan di dalam perutku. Kalian berpesta pora di bawah sinar matahari dan kilatan lampu di atas punggungku, ingat kelak kalian akan dapati kegelapan dalam perutku. Kalian bersama-sama riang gembira di atas punggungku, intat kalian kelak meratapi sendirian di dalam perutku”.
Saudaraku, mari kita muhasabah. Kita ini diciptakan di mUka bumi oleh Allah, hanyalah untuk mengabdi dan beribadah kepada Allah. Caranya, ibadah ritual (mahdlah) sudah diberi contoh oleh Rasulullah saw, kita ikuti dan teladani beliau, agar jalan kita tidak menyimpang. Karena ibadah itu bukan untuk Allah, akan tetapi untuk keselamatan dan kebahagiaan kita. Sementara ibadah sosial, lebih banyak diperintahkan, mulai dari sikap wajah tabassum (manis) kepada orang lain, tutur kata yang menyejukkan, tindakan yang bermanfaat dan membahagiakan orang lain, perilaku kedermawanan kepada orang lain yang membutuhkan, dan menjalin silaturrahim agar hidup kita aman, tenteram, tidak ada permusuhan, tetapi kedamaian dan kebahagiaan.
Imam al-Ghazali berpesan, yang paling jauh dari kita asalah masa lalu. Karena kita tidak akan pernah kembali. Mari kita jadikan masa lalu kita sebagai cermin, untuk mengisi hari ini, agar kita menjadi manusia yang lebih baik, semoga kota termasuk hamba yang beruntung. Dengan pijakan masa sekarang atau masa kini, insyaa Allah kita akan mampu merenda masa depan yang lebih baik lagi. Perjalanan kita masih panjang, dan kita harus menyiapkan bekal ketaqwaan itu dari sekarang.
Selamat tinggal tahun 1438 H, banyak kenangan kau torehkan dalam rekamanmu, banyak pula catatan peringatan yang engkau telah rekam dan simpan baik-baik, agar aibku cukup hanya aku. Dan Allah saja yang mengetahui, dan tidak muncul ke permukaan. Semoga catatanmu mampu menyadarkan kami, dan memasuki tahun baru 1439 H dengan optimisme dan semangat hidup yang tinggi, insyaa Allah semua akan menjadi indah pada waktunya. Semoga Allah senantiasa menolong kita untuk mengikuti jalan yang diridlai-Nya.
وفقنا الله الى سبيل الحق وسواء السبيل حسبنا الله ونعم الوكيل نعم المولى ونعم النصير
Allah a’lam bi sh-shawab.
Ngaliyan, Semarang, 20/9/2017.
Copyright 2021-2024, All Rights Reserved
Leave Your Comments