MENJADI PRIBADI YANG BERMANFAAT Oleh : KH. Drs. Ahmad Hadhor Ichsan *)
Suatu ketika Abu Hurairah RA melaksanakan ibadah i’tikaf di Masjid Nabawi. Ia tertarik ketika mengetahui ada seseorang duduk, bersedih di pojok masjid. Abu Hurairah pun menghampirinya, menanyakan ada apa gerangan hingga nampak bersedih. Setelah mengetahui masalah yang menimpa orang itu, Abu Hurairah pun segera menawarkan bantuan : Mari keluar bersamaku wahai saudara, aku akan memenuhi keperluanmu”, ajak Abu Hurairah. Apakah engkau akan meninggalkan i’tikaf demi menolongku ? tanya orang tersebut terkejut”. Ya, sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Sungguh berjalannya seseorang di antara kamu untuk memenuhi kebutuhan saudaranya itu lebih baik baginya daripada i’tikaf di masjidku ini selama sebulan”. (HR. At Thabrani dan Ibnu Asakir).
Sebagaimana Abu Hurairah, seorang muslim seharusnya memiliki keterpanggilan untuk menolong saudaranya, memiliki jiwa dan semangat memberi manfaat kepada sesama atau nafi’un li ghoirihi. Kebaikan seseorang, salah satu indikasinya adalah kemanfaatannya bagi orang lain. Keterpanggilan nuraninya untuk memberikan solusi menyelesaikan problem orang lain. Bahkan manusia terbaik adalah orang yang paling bermanfaat bagi sesama. Dari Ibnu Umar, Nabi SAW bersabda yang artinya :
“Manusia yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling memberikan manfaat bagi manusia. Adapun amalan yang paling dicintai adalah membuat muslim yang lain bahagia, mengangkat kesusahan dari orang lain, membayarkan hutangnya atau menghilangkan rasa laparnya. Sungguh aku berjalan bersama saudaraku yang muslim untuk sebuah keperluan, lebih aku cintai daripada beri’tikaf di masjid ini (Masjid Nabawi) selama sebulan penuh”. (HR. Thabrani di dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 13280)
Seorang muslim setelah membingkai kehidupannya dengan misi ibadah kepada Allah semata, maka orientasi hidupnya adalah memberikan manfaat kepada orang lain. Menjadi pribadi yang bermanfaat bagi sesama atau nafi’un li ghoirihi. Karenanya, menjadi sosok yang senang membantu penderitaan orang lain sebagai salah satu karakter yang harus ada pada diri seorang muslim.
Siapapun muslim itu, di manapun berada, apapun profesinya memiliki orientasi untuk memberikan manfaat bagi orang lain. Seseorang muslim bukanlah manusia egois yang hanya mementingkan dirinya sendiri, ia juga peduli dengan orang lain dan selalu berusaha memberikan manfaat kepada sesama. Dalam sebuah hadist disebutkan bahwa seharusnya setiap persendian manusia mengeluarkan sedekah setiap harinya. Dan ternyata yang dimaksud dengan sedekah itu adalah kebaikan, utamanya kebaikan dan kemanfaatan kepada sesama. Rasulullah SAW bersabda yang artinya :
“Setiap persendian manusia diwajibkan untuk bersedekah setiap harinya mulai matahari terbit. Berbuat adil antara dua orang adalah sedekah, menolong seseorang naik ke atas kendaraannya atau mengangkat barang-barangnya ke atas kendaraannya adalah sedekah, berkata yang baik adalah sedekah, begitu pula setiap langkah berjalan untuk menunaikan shalat adalah sedekah, serta menyingkirkan rintangan dari jalan adalah sedekah”. (HR. Bukhori)
Demikianlah perangai dan akhlak seorang muslim dan mukmin. Yang bersangkutan senantiasa terpanggil untuk menjadi pribadi yang bermanfaat bagi orang lain (nafi’un li ghairihi). Seorang muslim yang menjadi pedagang atau pebisnis orientasinya bukanlah sekedar meraup untung sebesar-besarnya, tetapi bagaimana memberikan kegunaan kepada orang lain, membantu memperoleh apa yang saudaranya butuhkan. Demikian pula mereka yang berprofesi sebagai guru, tidak semata-mata berorientasi mengajar lalu setiap bulan mendapatkan gaji, tetapi bagaimana memberikan manfaat terbaik kepada peserta didik dengan mengasihi seperti menyayangi putranya sendiri. Hal yang sama juga berlaku bagi mereka dengan berbagai keahlian dan profesi.
Sekilas dalam penilaian sesaat, memberikan manfaat kepada orang lain, membantu dan menolong sesama itu membuat waktu tersita, harta berkurang, tenaga dan fikiran terforsir. Namun sesungguhnya, saat memberikan manfaat kepada orang lain pada hakikatnya kita sedang menanam kebaikan untuk diri sendiri. Jika menolong orang lain, Allah akan menolong kita. Setidaknya itu jaminan yang diberikan. Allah SWT telah menandaskan : “Jika kalian berbuat baik, sesungguhnya kalian berbuat baik bagi diri kalian sendiri”. (QS. Al Isra’/17 : 7). Rasulullah SAW bersabda yang artinya :
“Barangsiapa membantu keperluan saudaranya, maka Allah akan membantu keperluannya”. (Muttafaqun ‘alaih).
Bahkan jika kita menolong dan membantu sesama, pertolongan dari Allah bukan sekedar di dunia, tetapi juga di akhirat. Jika kita memberikan manfaat kepada orang lain, maka Allah memudahkan kita bukan hanya dalam urusan dunia, tetapi juga pada hari kiamat kelak. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah dalam hadist sebagai berikut :
“Siapa yang menyelesaikan kesulitan seorang mukmin dari berbagai kesulitan dunia, Allah akan menyelesaikan kesulitannya di hari kiamat. Dan siapa yang memudahkan orang yang sedang kesulitan, niscaya akan Allah mudahkan baginya di dunia dan akhirat”. (HR. Muslim)
Lantas, dengan apa kita memberikan manfaat kepada orang lain ?. Dalam bentuk apa nafi’un li ghairihi kita wujudkan ?. Sesungguhnya setiap manusia memiliki banyak potensi untuk itu.
Pertama; dengan ilmu. Yakni ilmu yang dianugerahkan Allah, kita bagikan kepada orang lain. Kita mengajari dan melatih mereka dan memberdayakan. Ilmu ini tidak terbatas pada ilmu agama, tetapi juga ilmu dunia baik berupa pengetahuan, ketrampilan hidup, serta keahlian dan profesi.
Kedua; dengan harta. Kita manfaatkan harta yang dikaruniakan Allah untuk membantu sesama. Yang wajib tentu saja adalah dengan zakat ketika harta itu telah mencapai nisab dan haulnya. Setelah zakat ada infaq dan sodaqoh yang memiliki ruang lebih luas dan tak terbatas.
Ketiga; dengan waktu dan tenaga. Yakni ketika kita mendengar keluhan orang lain, membantu mereka melakukan sesuatu, membantu menyelesaikan urusan dan sebagainya.
Keempat; dengan tutur kata. Yakni perkataan kita yang baik, yang memotivasi, menenangkan dan mengajak kepada kebaikan. Berikutnya dengan sikap, sikap yang paling mudah adalah keramahan kita kepada sesama, serta senyum di hadapan orang lain. Hal ini sederhana dan tentu mudah dilakukan, dan itu termasuk memberikan kemanfaatan kepada orang lain.
Kelima; hal nafi’un li ghoirihi itu jika kita lakukan dengan ikhlas, maka Allah SWT akan membalasnya dengan kebaikan dan pahala, Hal tersebut sebagaimana telah ditandaskan dalam surat Az Zalzalah/99 : 7 yang artinya :
“Maka barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sebesar dzarrah-pun akan mendapatkan balasannya”.
Demikianlah Allah SWT telah memberikan ladang kebaikan kepada kita untuk terus berbuat yang terbaik bagi diri dan orang lain. Semoga Allah SWT selalu membimbing kita guna menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama. Aamiin ya Rabbal ‘aalamiin. *****
======================
*) KH. Drs. Ahmad Hadhor Ichsan; Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Tengah & Pengasuh Ponpes AL ISHLAH Mangkang Kulon Semarang
Copyright 2021-2024, All Rights Reserved
Leave Your Comments