(Sebuah Terobosan Menuju Kesadaran ke Arah Kedalaman Jiwa)
Oleh : Prof. Dr. H. Suparman Syukur, MA. *)
Alhamdulillah, marilah selalu bersyukur kepada Allah, karena sampai detik ini kita semua masih selalu diberi berbagai kenikmatan, sehingga kita semua bisa menunaikan ibadah dengan khusyu’. Semoga semua yang kita lakukan tidak lain demi mencari ridha Allah dan untuk menuju ketakwaan kepada-Nya. Amin ya Rabbal ‘alamin.
Manusia sebagai hamba Allah yang diciptakan di muka bumi ini diberi kedudukan sebagai khalifatullah, yang berarti bertugas mengatur, melaksanakan, dan mengembangkan dinamika dan derap kehidupan seiring dengan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Oleh karena itu segala amal perbuatan kita harus mendapatkan ridha dan petunjuk-Nya. Untuk mencapai keridhaan-Nya tersebut setiap muslim harus mendahului seluruh amalannya itu dengan niyat yang baik, berfikir positif (husn al-dhann) dan melaksanakan amalan itu dengan penuh keikhlasan. Perlu kita tengok ketika Mu’adz bin Jabal hendak menjalani ekspedisinya ke Yaman, ia minta wasiat kepada Rasulullah saw, sebagaimana disebutkan Al Mundhiri dalam kitabnya Al-Targhib wa al-Tarhib, sebagai berikut:
“Dari Mu’adh bin Jabal Radhiyallahu ‘Anhu, sesungguhnya ia berkata ketika menjelang ia diutus ke negeri Yaman, ya Rasulullah saw berilah wasiat kepadaku, seraya Rasulullah menjawabnya : “ikhlaslah dalam beragama niscaya cukup bagimu amal (meskipun itu) kecil. (HR. Hakim).
Terhadap hadits tersebut sebaiknya kita mampu memahami secara mendetail, bahwa yang disebut Rasulullah sebagai “ikhlas beragama” berarti terdapat indikasi bahwa setiap muslim diwajibkan menjalankan segala amalan agamanya yang harus didasari oleh syari’at yang benar, yakni melakukan ibadah sesuai dengan petunjuka Al Qur’an dan mengikuti sunnah Rasulullah, tidak diperkenankan menambahi dan atau menguranginya. Komitmen religius itu harus menjadi perhatian setiap umat Islam.
Seseorang muslim yang melakukan amalan ibadahnya (terutama ibadah mahdhah) secara ikhlas itu (sesuai dengan petunjuk Al Qur’an dan Sunnah), meskipun ia di dalam melaksanakan agamanya disinyalir sedikit jumlah kuantitasnya, tetapi tinggi tingkat kualitasnya. Hadith tersebut jika dipahami melalui pendekatan dan teori snow ball (bola salju), maka meskipun amalan seseorang itu nampak kecil dimata manusia, akan tetapi menjadi sangat besar di mata Allah swt, seperti bola salju yang terapung di laut tentu yang nampak hanyalah permukaan yang kecil itu saja, padahal bola salju itu sangat besar menggantung di bawah air laut yang tidak nampak oleh mata manusia.
Semangat pendekatan keagamaan seperti itu sebenarnya dapat digali dalam pemahaman terhadap surat Al Fatihah dengan implementasi ajarannya secara mendalam, sehingga dapat menjiwai dan mewarnai segala amalan pengabdian kepada Allah dengan penuh keikhlasan. Mengawali penggalian makna dan semangat al-Fatihah, maka perlu disadari tetang seluk beluk turunnya Al Qur’an. Al Qur`an diwahyukan pada permulaan abad VII di kota Mekah dan Madinah yang terletak di barat-tengah Arabia. Pada abad yang sama terjadi terjadi gejelak, karena kekaisaran Romawi Barat mengalami kekalahan menghadapi musuh-musuhnya, tetapi kekaisaran Romawi Timur (Bizantium), dengan ibu kotanya Konstantinopel, luput dari keporakporandaan. Kekaisaran Romawi Timur berhasil mencapai kekuasaan penuh dan peradaban yang stabil, tetapi setengah abad setelah Justianus wafat, kekaisaran ini kacau-balau, karena serangan dari luar dan kelemahan para penguasanya.
Kekaisaran bagian timur (Bizantium) memiliki saingan berat yakni kekaisaran Sasanid Persia yang daerah kekuasaannya smembentang dari Irak dan Mesopotamia di barat hingga daerah pedalaman timur Iran dan Afghanistan. Sejarah Timur Tengah saat itu didominasi oleh perebutan kekuasaan antara kedua imperium raksasa ini. Perebutan kekuasaan antara kedua imperium besar tersebut lebih memiliki relevansi terhadap politik Arab ketimbang akibat-akibat nyata lainnya.
Al Qur`an pertama kali diamanatkan kepada orang-orang yang memiliki kesibukan dalam berniaga, sehingga istilah-istilah kunci sering kali terkait dengan bahasa perniagaan para kafilah. Perniagaan saat itu dimotori oleh kendaraan onta, demikian pentingnya binatang itu, maka rujukan kepada binatang ternak (al-an’am) lebih banyak dipahami sebagai unta. Permasalahan hukum lebih banyak terkait dengan hukum syari’ah dan hukum perniagaan, sedangkan yang terkait dengan aturan pertanian dan lainnya tentu lebih sedikit dari pada keduanya. Hal itu bisa dipahami, karena lembah yang tandus (wadin ghairi dhi zar’in) tidak cukup menguntungkan untuk bercocok tanam dan usaha lainnya. Alhasil Al Qu`an cukup lentur terkait dengan situasi dan konsisi setempat yang ada. Oleh karena itu, jika Al Qur`an telah menjadi keyakinan muslim sebagai rahmatan li al-’alamin ila yaum al-din, maka pemahaman melalui berbagai penafsiran dan penakwilan yang mampu mencover berbagai permasalahan kini esok dan lusa hingga akhir masa. Pemahaman terhadap sebab-sebab ayat-ayat Al Qur`an diturunkan, menjadi hal yang cukup relevan untuk mendapatkan perhatian yang lebih serius, disamping hal-hal lain yang dapat mempertajam pemahaman terhadap kata, kalimat dalam berbagai surat Al Qur’an. Surat al-Fatihah diturunkan di Mekah, oleh karenanya disebut sebagai surat makkiyah. Para ulama tafsir sepakat, bahwa surat ini terdiri dari tujuh ayat, diawali dari basmalah sampai ayat ke tujuh yang diakhiri dengan kalimat al-dhallin. Ia merupakan surat pertama dalam Al Qur`an, akan tetapi bukan merupakan surat pertama yang diturunkan. Oleh karena itu ia disebut sebagai pembuka Al Qur`an (al-Fatihah). Surat ini meski jumlah ayatnya hanya tujuh ayat, tetapi makna yang terkandung di dalamnya mencakup hal-hal yang mendasar secara global. Kandungan surat al-Fatihah dapat digolongkan menjadi 4 (empat) bagian. Pertama, kandungan yang bersifat ‘ontologis/metodologis’ terdapat dalam ayat pertama hingga ayat ketiga. Kedua, mengandung ajaran dan piwulang yang bersifat ‘eskatologis’, yakni dalam ayat ke empat (ملك يزم الدين). Ketiga, pernyataan ‘kultuisme’ terhadap Tuhan, terletak pada ayat ke lima (إياك نعبد وإياك نستعين ). Kandungan yang keempat adalah berkaitan dengan unsur norma dan etika, terletak pada ayat ke enam dan ke tujuh.
Menurut para ahli tafsir, termasuk di dalamnya al-Razi, Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, bahwa kata basmalah termasuk bagian dari surat al-Fatihah. Para ulama tidak mempermasalahkan tentang bagaimana cara mengucapkannya, ada yang berpendapat bahwa mengucapakan kalimat bismillahi al-rahman al-rahimi dengan suara keras (jahr) ada pula yang berpendapat mengucapkannya tidak dengan suara keras (samit). Ada suatu ceritera, bahwa pada suatu ketika Rasulullah membacanya dengan suara keras, sedangkan di sekitar Rasulullah melakukan shalat itu ada mata-mata dari kaum musyrikin Quraisy yang mendengar Rasulullah mengucapakan al-rahman, lalu mata-mata itu bersuka-ria karena tuhan-nya (patung yang bernama al-rahman) disebut Rasulullah ketika beliau shalat. Kejadian itulah yang menyebabkan Rasulullah ketika shalat, tidak menyebut kata al-rahman dengan keras. Menurut Abu al-Hasan al-Mawardi, setiap Jibril turun membawakan wahyu kepada Muhammad, dia menyapa Muhammad seraya memerintahnya membaca ta’awwudz dan basmalah. (hadits dari Ibn ‘Abbas).
Menurut Ali Sabuni, dalam Safwat al-Tafasir, mengucapakan kata basmalah disamping merupakan salah satu ayat dari surat al-Fatihah, juga bertujuan sebagai petunjuk, bahwa ketika memulai segala sesuatu kiranya dapat diawali dengan bacaan basmalah demi tercapainya sebuah ma’unah dan taufiq. Tafsir al-Mizan, menambahkan agar setiap amalan manusia mendapatkan keberkahan dan kemuliaan (mubarakan dan mutasharrafan), sehingga terbebas dari kegagalan, kehancuran, dan kerusakan, karena pada hekikatnya tertutup bagi Allah segala jalan kerusakan dan kebatilan. Ucapan itu juga sebagai tanda pembeda dari ucapan kaum musyrikin yang mengawali segala sesuatunya dengan menyebut nama tuhan mereka hubal, lata, ‘uza dsb. Muslim yang menyebutkan bismillahi al-rahman al-rahim, secara logis menunjukkan adanya suatu kesadaran seorang manusia bahwa segala perkara yang dilakukannya selalu harus mendapat rida dan petunjuk dari Allah Swt., sehingga secara psikologis akan mendorong agar melalukan perkerjaan itu secara sungguh-sunggh sehingga dapat mencapai keberhasilan.
Dua sifat Allah al-rahman dan al-rahim; menurut kajian bahasa, yang pertama merupakan sighah mubalaghah yang menunjukkan kerahmatan dalam jumlah yang banyak dan berlaku umum bagi setiap manusia, sedangkan yang kedua (al-rahim) sebagai sifah mushabbahah yang menunjukkan ketetapan dan keabadian kerahmatan Allah secara khusus bagi setiap manusia yang beriman. Contoh kalimat serupa adalah terdapat dalam al-Ahzab: 43: وكان بالمؤمنين رحيما dan al-Taubah: 117: إنه بهم رؤوف رحيم
*Kandungan Makna Surat Al Fatihah
Kandungan secara umum telah disebutkan sebelumnya, sedangkan makna yang terkandung secara terperinci sebagai berikut : Kandungan makna Ontologis, terdapat dalam ayat pertama sampai ayat ketiga. Ayat pertama (basmalah) menjelaskan tentang zat Allah. Karakteristik kedua sifat-Nya itu menunjukkan kelengkapan sifat-sifat-Nya yang lain yang tidak dapat ditentukan batasnya. Sifat-sifat itu akan bisa dirasakan pula oleh mereka yang menerima kurnia dari rahmat-Nya, dan juga mampu menjadi perekat kepribadian seorang hamba dengan Sang Khaliq sehingga mereka akan memiliki dorongan untuk mentaati segala perintah-Nya. Ketaatan itu akan dapat dilakukan, setelah seseorang menyadari atas segala perlindungan, pendidikan, peringatan, penjagaan, pengampunan dan lain sebagainya sengaja diberikan atas usha manusia itu sendiri yang didasari atas keyakinan rububiyyatullah.
Ayat kedua dan ketiga, yang pertama dari kedua ayat ini adalah sebagai dasar pujian kepada Allah yang dimanifestasikans dalam bentuk syukur yang merupakan awal jalan yang lurus. Hal itu merupakan pernyataan dan pengakuan diri bahwa segala sesuatu (khususnya ni’mat dan rahmat) adalah milik dan hak Allah semata, dimana manusia yang mendapatkannya hanya secara simbolis memilikinya. Oleh karena itu yang mendapatkan amanat menerima rahmat dan nikmat itu harus mampu secara ikhlas melaksanakan kewajiban yang terkait dengan rahmat dan nikmat tersebut, jika hal itu diinkari maka Allah semakin enggan memberikan rahmat-Nya. Kandungan Makna Eskatologis. Allah sebagai yang merajai hari pembalasan (ملك يوم الدين ), kata itu ada yang membacanya panjang terambil dari kata al-milk yang berarti ‘kepemilikan’, sedangkan yang membacanya pendek terambil dari kata al-mulk, yang berarti ‘kekuasaan’. Ayat ini menunjukkan kepada rahmat-Nya pada hari pembalasan, di saat mana Allah akan mengaruniakan surga yang abadi kepada orang yang telah memiliki persyaratannya melalui amal perbuatannya. Kesadaran atas segala amal perbuatan manusia akan mendapat balasan di hari akhir itu, menjadi semakin kokoh ketika seseorang meyakini bahwa kekuasaan manusia hanyalah sebatas berusaha dan Allahlah yang akan menentukan kemudian.
Kandungan Makna Kultuisme; kata al-’ibadah asal maknanya adalah ‘jalan’. Pokok ajaran yang terkandung dalam kalimat iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in adalah suatu pengabdian yang ikhlas sama-mata hanya kepada Allah, suatu pengakuan diri manusia hanya Allah semata yang pantas mendapatkan persaksian secara kultuistis, dan itulah yang merupakan ‘jalan yang lurus’. Persaksian secara kultuistis kepada selain Allah adalah bentuk penyelewengan dan kemungkaran yang nyata, karena semua manusia sebagai makhluk-Nya adalah memiliki hak dan kewajiban yang sama terhadap Allah, mereka akan dibedakan sesuai dengan amal perbuatan ketika di dunia ini. Bentuk isti’anah mutlak dari Allah, artinya suatu isyarat bahwa manusia berkewajiban berusaha secara berkesinambungan untuk membersihkan diri dan jiwa dari tindakan kemusyrikan. Oleh karena itu sama sekali tidak dibenarkan terpedaya oleh daya dan kekuatan apapun selain kekutan Allah. Jalan yang lurus sebagai telah disebutkan sebelumnya terkait erat dengan unsur ‘kepatutan’, yakni mensucikan diri dengan menafikan segala sesuatu yang menurut syari’at dan perimbangan ‘hati nurani’ tidak patut dilakukan, serta melakukan apa-apa yang menurut syari’at dan pertimbangan ‘hati nurani’ patut untuk dicapai.
Kandungan Makna Etika; setelah manusia berusaha melalui tindakan positif untuk mencapai apap-apa yang menurut syari’at dan pertimbangan ‘hati nurani’ patut dicapai, maka berdo’a dan mohon petunjuk-Nya merupakan keharus yang bersitfat etis. Hal itu tentu terkait erat dengan makna dan ajaran yang terkandung dalam ayat-ayat sebelumnya, dimana manusia telah menyadari adanya kesaksian dirinya, bawa segala sesuatu adalah milik Allah semata. Kekuasaan dan kemuliaan hanya ada pada Dzat-Nya, maka permohonan tercapainya segala sesuatu yang dilakukan manusia sebagai bentuk ibadah mutlak diperlukan, karena secara logis ‘kemurkaan’ akan selalu menutupi segala bentuk ‘keridhaan’.
Demikianlah kesatuan makna setiap ayat dalam surat al-Fatihah merupakan landasan dasar untuk memahami seluruh kandungan ayat-ayat dalam berbagai surat Al Qur`an, maka kiranya dapat dimengerti bahwa surat ini menjadi “pembuka” kitab Allah, wa ilallahi nasta’in, wassalam
Leave Your Comments