MENGGAPAI DERAJAT MUTTAQIN Oleh : KH. Dr. Ahmad Darodji, M.Si. *)
Marilah kita tidak henti-hentinya untuk senantiasa bertakwa kepada Allah SWT dan sekaligus meningkatkannya dari waktu ke waktu, mumpung kita masih dikaruniai kesehatan dan hidup karena kita tidak akan pernah tahu kapan hidup kita ini diambil kembali oleh Allah SWT, bisa nanti, besok, lusa atau kapanpun dan yang pasti maut akan datang menghampiri kita. Sehingga kita mesti memperhatikan firman Allah yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam”.
Semoga kelak pada saat kita dipanggil oleh Allah dalam keadaan pasrah (Islam) dan khusnul khatimah. Aamin ya Rabbal ‘aalmiin.
Mari kita refresh dan segarkan kembali ketakwaan kita sekaligus bermuhasabah (introspeksi diri), apakah sikap dan perbuatan kita sudah sesuai petunjuk Al Qur’an atau belum. Kita berupaya untuk terus menerus membaca Al Qur’an, di awal surat Al Baqarah/2 : 1-5 yang artinya :
“Alif Laam Miim. Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya.Petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung”.
Al Qur’an yang menjadi sumber pedoman hidup dan mati kita itu tidak ada keraguan sama sekali di dalamnya dan pasti benar adanya, karena Al Qur’an menjadi petunjuk bagi orang yang bertakwa. Siapakah orang yang bertakwa itu ?. Orang yang bertakwa adalah :
1) Percaya kepada yang ghaib; Iman ialah kepercayaan yang teguh yang disertai dengan ketundukan dan penyerahan jiwa. Tanda-tanda adanya iman ialah mengerjakan apa yang dikehendaki oleh iman itu sendiri. Yang ghaib ialah yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera. Percaya kepada yang ghaib yaitu, mengi’tikadkan adanya sesuatu yang maujud yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindera, karena ada dalil yang menunjukkan kepada adanya, seperti: adanya Allah, malaikat-malaikat, hari akhirat dan sebagainya.
Hal-hal lain yang tidak bisa kita saksikan tetapi kita mempercayainya, misalnya : pagi hari kita sarapan tanpa melihat apakah makanan tersebut mengandung racun atau tidak, tetapi kita percaya bahwa makanan tersebut halal dan tidak berbahaya bagi tubuh kita. Kita berangkat kerja dan terlebih dahulu mengisi bbm motor kita, kita tidak pernah meneliti bbm tersebut bercampur dengan air, oli atau benda cair lainnya, namun kita percaya sehingga sampailah kita di tempat tujuan. Kita meninggalkan rumah dengan mengunci pintu, dengan mengunci pintu rumah maka kita percaya bahwa pencuri tidak akan bisa masuk, begitu seterusnya.
2) Mengerjakan shalat;
Shalat menurut bahasa ‘Arab : doa. Menurut istilah syara’ ialah ibadat yang sudah dikenal, yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, yang dikerjakan untuk membuktikan pengabdian dan kerendahan diri kepada Allah. Mendirikan shalat ialah menunaikannya dengan teratur, dengan melangkapi syarat-syarat, rukun-rukun dan adab-adabnya, baik yang lahir ataupun yang batin, seperti khusyu’, memperhatikan apa yang dibaca dan sebagainya. Dengan mengerjakan shalat atas perintah Allah SWT maka pasti akan berbuah baik pada diri kita yang melaksanakannya.
3) Memberikan sebagian rizki yang telah dianugerahkan kepada kita kepada mereka yang membutuhkan; antara lain : zakat, infak, sadaqah, dan lain sebagainya. Hal ini karena kita percaya bahwa orang yang berzakat, infak maupun sadaqah maka pasti hartanya justru akan bertambah.
Menafkahkan sebagian rizki ialah memberikan sebagian dari harta yang telah dikaruniakan oleh Allah kepada orang-orang yang disyari’atkan oleh agama, seperti orang-orang fakir, orang-orang miskin, kaum kerabat, anak-anak yatim dan lain-lain.
Kita juga percaya bahwa adakitab-kitab yang diturunkan oleh Allah SWT sebelum Al Qur’an, seperti: Taurat, Zabur, Injil dan Shuhuf-shuhuf yang tersebut dalam Al Qur’an yang diturunkan kepada para Rasul. Allah SWT menurunkan kitab kepada para Rasul yakni dengan memberikan wahyu kepada Jibril danmenyampaikannya kepada Rasul.
Disamping itu, kita juga yakin bahwa ada kehidupan setelahdi dunia ini yakni kehidupan akhirat. Setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia di dunia ini pasti ada hasil dan balasannya yakni di yaumil akhir. Jika kita berbuat baik maka tentu akan menuai kebaikan, sebaliknya apabila kita berbuat jelek maka akan mendapatkan balasan kejelekan. Oleh karena itu kembali kepada diri kita sendiri.
Kita menyaksikan seseorang yang mempertanyakan tentang kehidupan akhirat dan juga keberadaan surga ataupun neraka dengan penyataan : “apakah engkau pernah pergi ke sana ?”. Na’udzu billahi min dzalik, semoga Allah SWT memberikan petunjuk kepadanya. Orang ini perlu dipertanyakan keimanan dan ketakwaannya, dan juga perlu dipertanyakan ke-Pancasila-annya, padahal dalam Sila Pertama disebutkan : Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, marilah kita bangun keimanan dan ketakwaan ini dengan semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT agar semakin terpatri ke dalam sanubari kita.
Marilah kita ajak orang-orang yang masih mempermasalahkan soal keimanan tersebut dan kita luruskan agar berjalan pada tempat yang diridhoi Allah SWT, sambil terus berdo’a mudah-mudahan Allah SWT memberikan ke-istiqamah-an keimanan dan ketakwaan kita sampai menghadap kehadirat-Nya. Kita terus refresh dan introspeksi diri sejauh mana keimanan kita ini bertambah atau justru malah berkurang.
Kondisi sekarang ini banyak kita jumpai orang tidak percaya akan firman-firman Allah, tidak percaya bahwa kemampuan kita ini terbatas, tidak percaya bahwa ada orang yang lebih alim dari kita, dan lain sebagainya. Kita menyaksikan kondisi kecarut marutan yang terjadi sekarang ini tidak lepas dari alat komunikasi yang kita miliki, sehingga berita-berita hoak yang seringkali kita jumpai membuat resah masyarakat kita. Namun demikian, mari kita turut mengurai agar keresahan tersebut tidak semakin meluas, jangan sampai di antara saudara kita saling berbenturan apalagi bermusuhan. Karena jika kita tidak mampu menahan diri, maka iblis yang sejak dulu memang berupaya untuk mengadu domba kita akan semakin senang.
Oleh karena itu, walaupun kita berbeda pandangan namun hakikatnya kita memiliki tujuan yang sama yakni li i’lai kalimatillah, mari selalu kita kumandangkan Asma Allah dan kita amalkan perintah-perintahNya sedikit demi sedikit, jaga lisan kita dari ucapan maupun perkataan yang mampu membuat sakit hati sesama, kita bikin suasana yang membuat hati sejuk dan teduh. Firman Allah yang artinya :
“Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun”. (QS. Al Baqarah/2 : 263)
Ucapan yang baik, sejuk, lembut, dan tidak menimbulkan reaksi permusuhan itu jauh lebih baik dibandingkan dengan sadaqah yang diiringi, ditindak lanjuti, difollow up ataupun diteruskan oleh perbuatan yang tidak baik. Oleh karena itu, kita senantiasa memohon ke hadirat Allah agar kondisi yang tidak nyaman segera diangkat oleh Allah SWT. Sebagai bangsa yang bermartabat mari kita junjung tinggi Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI menjadi harga mati yang harus kita pertahankan dengan segenap jiwa dan raga kita, karena ini adalah amanah dari Allah SWT yang harus terus kita jaga.
Jika hal ini mampu kita lakukan, maka insya-Allah suasana nyaman, sejuk, damai, sejahtera dzohiron wa bathinan tentu akan mampu kita raih dan negara kita akan menjadi negara yang baldatun, thoyyibatun wa Rabbun Ghofur. Aamiin Allaahumma Aamiin. *****
—————————————–
*) KH. Dr. Ahmad Darodji, M.Si.; Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Tengah & Ketua Umum Yayasan Pusat Kajian dan Pengembangan Islam (YPKPI) Masjid Raya Baiturrahman Jawa Tengah
Copyright 2021-2024, All Rights Reserved
Leave Your Comments