KPK DAN SAFARI OTT : “FENOMENA GUNUNG ES” KORUPSI? (219) Oleh Ahmad Rofiq

Assalamualaikum wrwb.

Mari kita syukuri karunia Allah. Hanya karena kasih sayang dan anugrah-Nya kita sehat afiat dan dapat melaksanakan aktifitas kita dengan senang hati. Mari kita niatkan ibadah dan husnudhan kepada Allah, berfikir positif, insyaa Allah hasilnya positif dan membahagiakan.
Shalawat dan salam mari kita senandungkan untuk Baginda Rasulullah saw, keluarga, para sahabat, dan pengikut setia beliau. Semoga semua urusan kita dimudahkan dan kelak di akhirat kita dilindungi syafaat beliau.
Di tengah upaya-upaya “pelemahan” KPK melalui hak angket DPR RI, yang katanya pada semula adalah lembaga “extra ordinary” untuk memberantas dan menghilangkan prilaku dan budaya korupsi di Indonesia, ternyata korupsi tidak tampak ada tanda-tanda berkurang, akan tetapi justru “desentralisasi” korupsi cenderung makin “menjadi-jadi” dan tidak ada tanda-tanda berkurang. Modus dan angkanya juga makin “nggegirisi”. Sebutlah kasus e-KTP yang diduga mencapai 2,3 trilyun. Dan masih banyak lagi kasus-kasus korupsi besar lainnya.
Penyelesaian perkara e-KTP belum selesai, KPK ternyata sukses “luar biasa” dalam melakukan “Safari OTT” atau operasi tangkap tangan. Dari April 2016 sampai September 2017, ada 11 Kepala Daerah terjaring Safari OTT. Dari Bupati Subang Ojang Suhandi, dalam kasus suap kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Jawa Barat sebesar Rp 200 juta, Bupati Banyuasin Yan Anton Ferdian, menerima suap Rp 1 milyar dari pengusaha ijon proyek di Dinas Pendidikan Banyuasin, Walikota Madiun Bambang Irianto didakwa korupsi dana pembangunan Pasar Besar Kota Madiun Rp 59 milyar, Bupati Buton Samsu Umar Abdul Samiun, dalam kasus suap sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK), Bupati Sabu Raijua Marthen Dira Tome, kasus korupsi dana pendidikan luar sekolah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT, Walikota Cimahi Atty Suharty kasus suap pembangunan pasar, Bupati Klaten Sri Hartini, suap promosi jabatan, Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti dalam kasus suap proyek pembangunan jalan di Provinsi Bengkulu, Gubernur Sultra Nur Alam kasus korupsi penerbitan SK Persetujuan Pencadangan wilayah pertambangan, Walikota Tegal Siti Masitha kasus suap pembangunan UGD RSUD Kareinah Tegal, dan Bupati Batubara masih dalam proses (KoranSINDO, 14/9/2017 hal. 4).
Di Jawa Tengah sendiri, yang Gubernurnya, mengusung motto “Ora Ngapusi Ora Korupsi”, setelah OTT KPK “menimpa nasib” Bupati Klaten, kemudian menghadang “nasib” Walikota Tegal, yang sedang “ancang-ancang” maju lagi dalam putaran pilkada tahun depan. Boleh jadi hanya karena soal nasib yang lagi “apes” (Jawa) yang menimpa mereka. Sementara yang lain “masih aman” karena belum mendapat giliran. Mudah-mudahan ya yang terkena OTT KPK Bupati Batubara, cukuplah menjadi yang terakhir.
Terus terang saya agak “miris” melihat fenomena OTT tersebut. Karena pemberitaan di media, dapat dipastikan juga ada anak-anak dan generasi muda kita yang menyaksikannya. Apalagi mereka yang “sedang mengenakan” baju rompi warna orange, tampaknya juga masih “senyum-senyum”. Mudah-mudahan anak-anak dan generasi muda kita memiliki kecerdasan hati dan intelektual, untuk bisa memilih dan memilah mana yang perlu diikuti dan yang tidak. Karena apapun yang namanya korupsi, dapat dipastikan menggerogoti harta negara dan rakyat.
Rasanya sukses Safari OTT di atas mengusik pertanyaan dan kegalauan saya, “Jangan-jangan” ini ibarat “gunung es” yang di permukaan tampak kecil atau hanya beberapa saja, tetapi sebenarnya di dalamnya besar? Jangan-jangan fenomena “setoran” dari pihak yang mendapat proyek pekerjaan itu, hingga kini, “budayanya” masih belum berubah, meskipun regulasinya sudah baik. Tentu yang bisa menjawab, adalah saudara atau teman-teman yang pernah mengalami dan merasakan sebagai Bupati, Walikota, atau jabatan sejenisnya, yang untuk mendapatkan jabatan tersebut, membutuhkan ongkos politik yang sangat mahal. Mulai dari “mahar” politik — maaf pada teman-teman, menggunakan istilah mahar di sini, sebenarnya salah, karena kata mahar biasa digunakan untuk “bukti” sayang dan cinta dalam ikatan perkawinan yang harus diucapkan dalam akad nikah — hingga “walimah” politik, nafkah politik dan ubo rampe politik lainnya, seperti THR politik, yang pasti jumlahnya sangat besar.
Saudaraku, guru saya mengajari, “jangan suudhan” pada orang lain, suudhan itu dosa. Guru saya mengutip dari Al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 12. Tentu ini, tidak ada pretensi suudhan apalagi menuduh siapapun. Tetapi “rumus politik” itu tidak bisa dipisahkan dari persoalan ekonomi. Karena tampaknya menjadi modus bahwa politik itu adalah “instrumen ekonomi”. Artinya, “kekuasaan” digunakan untuk mendulang “pundi-pundi” ekonomi. Karena jika dikalkulasi dengan modal yang dikeluarkan, akan mendapatkan keuntungan, maka secara ekonomi layak untuk “harus” dimodali.
Karena antara politik dan ekonomi ini, layaknya pisau dengan tajamnya. Atau api dengan panasnya. Maka jika Lord Acton bilang, “the power tend to corrupt and the absolute power tend to corrupt absolutely” itu karena kayaknya belum ada pergeseran budaya politik kaitannya dengan ekonomi. Tentu tidak semua begitu. Karena pasti masih banyak pejabat yang tidak korup, hidupnya sederhana, bahkan jauh dari kesan glamour layaknya pejabat politik yang cenderung serba wah. Ada sahabat saya, yang menjabat sebagai wakil gubernur, tampilannya sederhana, low profile. Bahkan handphone saja, masih menggunakan hape merk “jadul” tahun 2000-an.
Bagi orang yang belum pernah memegang dan merasakan jabatan politik, boleh jadi bicaranya idealis dan normatif. Sementara bagi yang sudah berpengalaman, yang muncul adalah makin obsesif, sudah “jatuh bangun” pun, tetap saja tetap bersemangat untuk bisa mendapatkan kembali jabagan politik. Inilah yang kemudian muncul fenomena upaya membangun “dinasti” jika memungkinkan.
Rasulullah saw pernah mengingatkan, “janganlah meminta atau mencari jabatan” karena apabila Anda menjabat arena meminta atau mencari jabatan, maka itu akan menjadi “beban berat”, sementara apabila Anda menjabat tidak karena meminta atau mencari, maka Allah akan meringankan dan menolong Anda (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).
Tentu sikap idealis dalam berpolitik, tampaknya dalam model kehidupan demokrasi one man one vote atau satu orang satu suara, boleh jadi dipandang “aneh” tidak realistis, dan mengada-ada. Karena itu, model perwakilan atau meminjam terminologi politik Islam dikenal ahlu l-halli wa l-‘aqdi yang sebenarnya sudah ditegaskan dalam sila keempat, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijakaanaan dalam permusyawaratan perwakilan” kiranya “mendesak” untuk ditafsirkan ulang secara lebih “cerdas” dan kontekstual.
Saudaraku, mengakhiri renungan ini, ada baiknya kita simak seksama, pesan bijak “حب المال والجاه راءس كل خطيئة” artinya “cinta harta dan pangkat adalah biang dari semua kesalahan”. Sementara itu, jabatan politik itu harus dan mitlak wajib ada. Karena ketika terjadi kevacuman pemimpin, maka yang terjadi adalah kekacauan dan anomali dalam masyarakat.
Kita butuh pemimpin yang memang niatan awalnya adalah untuk mengabdi dan menjaid pelayan rakyatnya. Bahkan warganya dibuat kenyang, tidak ada yang kelaparan. Ia rela berlapar-lapar dan berhaus-haus. Ia merasa sedih dan sangat prihatin manakala masih ada warganya yang kelaparan, kurang bizi, dan jidupnya menderita.
Kita semua sedih, dongkol dan galau, bagaimana masa depan anak-anak kita saat mereka menjadi para pemimpin nanti, sementara berita di mesia cetak, elektronik, dan media sosial menayangkan banyak pemimpin yang terkena dan terjaring OTT KPK. Sedihnya lagi, kita menyaksikan mereka ketika mengenakan “baju tahanan berwarna orange” tampak masih senyum. Karena mereka merasa tidak salah.
Semoga Allah menempatkan para pemimpin NKRI kita, orang-orang yang mampu menjadi layaknya seorang pemimpin, yang mampu mengayomi dan memajukan rakyatnya. Syukur dapat merubah keadaan warga yang kekurangan, bisa melalui cara menyekolahkan mereka, menyediakan lapangan pada mereka. Dengan demikian rakyatnya dapat hidup tenang, tenteram, nyaman, merasa puas, menjadi lega dan bahagia.
Allah a’lam bi sh-shawab.
Grand Clarion Makassar, 16/9/2017.

Leave Your Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright 2021-2024, All Rights Reserved