Khutbah Jum’at di Masjid Raya Baiturrahman Simpanglima Semarang, tanggal 22 Februari 2013 M / 11 Rabiul Akhir 1434 H
IKHLAS DALAM BERAMAL
Oleh : Dr. H. Abdul Muchayya, MA. *)
Marilah kita bersama-sama bersyukur ke hadirat Allah swt karena atas rahmat, taufik, hidayah, dan inayah-Nya kita dapat menjalankan ibadah dalam rangka memenuhi kewajiban yang telah diperintahkan-Nya kepada kita, ini adalah karunia Allah yang harus kita syukuri karena dengan mensyukuri kenikmatan tersebut maka kiranya nikmat tersebut akan bisa langgeng dan menurut janji Allah akan terus ditambah. Amin.
Marilah kita bersama-sama meningkatkan ketakwaan kepada Allah swt dengan sekuat-kuatnya, karena sesungguhnya kita harus ingat bahwa hidup adalah laksana orang yang sedang berjalan dan tujuan akhir dari kita nanti adalah akan bersama-sama menghadap ke hadirat Allah swt, karena tidak ada bekal yang lebih baik kecuali “takwa”. Oleh karena itu berbahagialah orang yang bertakwa dan celakalah mereka yang tidak mau taat, bahkan mengingkari Allah swt.
Tema kali ini tentang “Al Ikhlash bil ‘Amal” (Keikhlasan dalam Beramal). Jika kita berfikir secara jernih bahwa sesungguhnya amal-amal yang telah digariskan oleh Allah swt itu memiliki fungsi dan daya guna, antara lain : Daya guna Takholli atau Tahdid yakni pembersihan diri dari segala noda dan pada saat yang sama amal-amal yang kita lakukan sudah semestinya memiliki daya guna takhalli atau penghiasan dan nutrisi bagi kehidupan kita.
Tetapi jika kita lihat dari pelaksanaan ibadah yang kita lakukan, nampaknya belum ada korelasi antara amal dengan proses pembersihan hati serta kekuatan dan daya dorong keimanan yang kita miliki. Jika demikian yang terjadi, maka sesungguhnya ada sesuatu yang perlu kita cari letak kesalahannya. Shahibul Hikam mengatakan bahwa amal perbuatan kita ini laksana jasad yang berdiri tegak, sedangkan ruh yang menjadikan jasad itu bergerak dan memiliki fungsi yang mampu menghasilkan perbuatan-perbuatan yang bersifat qauli (ucapan) maupun ‘amali (sikap), hal ini tidak lain yang menyebabkan adalah ruh dan wujudnya adalah rahasia ikhlas dalam amal tersebut.
Jika kita telaah secara mendalam maka dari ungkapan ini barangkali di dalam pelaksanaan amal yang kita lakukan, faktor keikhlasan yang sesungguhnya menjadi ruh dari amal kita belum terwujud sehingga seandainya ada barangkali masih minim. Dan ruh yang minim itu tidak mampu mendorong dan menghasilkan kebersihan jiwa yang mampu menghiasi dan mempercantik jiwa seseorang yang melakukan amal tersebut.
Oleh karena itu, marilah kita sama-sama muhasabah wal muroqobah, kita nilai diri kita sendiri dengan melihat kekurangan-kekurangan kita ketika mengabdi kepada Allah, selanjutnya setelah kita tahu kekurangannya maka sejauhmana keikhlasan yang kita lakukan ini, apakah sudah baik atau justru sebaliknya semakin jauh dari harapan. Dan jika kita sudah tahu, maka kita adakan proses pembenaran bukan berarti kita mengaku benar, tetapi kita benarkan amal tersebut agar amal kita benar-benar “Lillahi Ta’ala”.
Mungkin terasa berat ketika kita melakukan amal lillahi ta’ala, namun sesungguhnya amal lillahi ta’ala ini merupakan fitrah manusia. Mereka yang memiliki keikhlasan maka dia akan memperoleh manfaat yang tiada kira banyaknya dibandingkan mereka yang tidak ikhlas. Oleh karenanya seorang sufi berpesan : “Benarkanlah amal-amalmu dengan ikhlas dan benarkan keikhlasanmu semata-mata karena Allah swt”. Sehingga jika kita menyadari bahwa kita mampu bersedekah karena dikaruniai rizki Allah, kita dapat menjalankan shalat karena ada kekuatan dan keinginan yang datang dari Allah swt. Jika kita menyadari hal itu, maka yang ada hanya rasa “syukur” dan “ikhlas Lillahi Ta’ala”.
Hujjatul Islam Imam Al Ghazali menyatakan bahwa keikhlasan bisa dikategorikan menjadi 2 (dua), yakni :
1) Ikhlas Li’ajlis Sawab; orang yang beramal karena Allah, disamping itu dia masih mengharapkan akan datangnya rizki yang melimpah, anak keturunannya kelak menjadi anak yang salih dan salihah dan sebagainya, maka hal ini tidak apa-apa. Ikhlasnya orang-orang setingkat kita dengan masih berharap akan datangnya karunia dari Allah maka hal itu sah-sah saja. Yang tidak diperbolehkan adalah beramal untuk diniatkan kepada selain Allah swt, seperti : beramal karena manusia, ingin dipilih untuk menduduki jabatan tertentu, ingin disanjung, diekspose dan lain-lain.
2) Ikhlasul ‘Amal; ini biasa dilakukan oleh para khowashul khowash yakni orang yang sangat dekat dengan Allah swt. Ketika melakukan ketaatan kepada Allah, mereka tidak lagi mengharap keinginan untuk dirinya mereka sendiri, tetapi semata-mata dalam rangka meningkatkan kecintaan dan kerinduannya untuk bertemu dengan Allah swt.
Namun demikian, sekiranya kita belum mampu melakukan sebagaimana yang dilakukan oleh para khowashul khowas, maka marilah kita bersama-sama untuk senantiasa melakukan ikhlas li’ajlis sawab. Namun jangan sampai amal yang kita lakukan tidak ada unsur keikhlasan, karena jika kita dalam beramal tidak disertai rasa ikhlas, maka fungsi, tujuan, dan substansi dari amal itu justru akan berkurang. Apalagi fungsi tahalli (pembersihan dari sifat-sifat tercela) seperti : takabur, ujub dan lain sebagainya, atau fungsi takholli yang dimiliki oleh amal itu sendiri, seperti : munculnya sikap tawadhu’, khusyu’ dan sebagainya, jika tidak ada unsur ikhlas maka amal tersebut tidak akan menghasilkan fungsi tahalli dan fungsi takholli. Dan apabila amaliyah kita belum memiliki ke 2 (dua) fungsi tersebut, maka nikmatnya keimanan tidak akan dapat kita rasakan.
Demikian, mudah-mudahan Allah swt senantiasa memberikan kekuatan kepada kita, sehingga dalam melaksanakan setiap amal kebajikan bisa ikhlas Lillahi Ta’ala. Amin ya Rabbal ‘alamin. ****
=================================
*) Dr. H. Abdul Muchayya, MA.; Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang
Leave Your Comments