HAYATAN THOYYIBAH Oleh : KH. Drs. Mustaghfiri Asror *)
Alhamdulillaahi Rabbil ‘aalamiin Allah SWT memberikan kekuatan kepada kita, baik kekuatan lahir maupun batin sehingga kita mampu meninggalkan berbagai macam aktivitas di luar ibadah dalam rangka memenuhi panggilan Allah SWT. Firman Allah dalam surat Al Jumu’ah/62 : 9 yang artinya :
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegera-lah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui”.
Semoga kita diberi kemampuan untuk meningkatkan taqwAllah, di manapun dan kapanpun serta dalam kondisi yang bagaimanapun, karena kita yakini hanya taqwAllah yang dapat menghantarkan manusia memperoleh kebahagiaan, baik kebahagiaan lahiriyah maupun batiniyah, kebahagiaan duniawiyah maupun ukhrawi. Aamiin.
Setiap orang yang berakal sehat pasti bercita-cita dan berusaha untuk meraih hidup dan kehidupan yang baik, kehidupan yang bahagia, a good life, atau kalau menurut ayat 97 surat An Nahl/16 disebut “Hayatan Thoyyibah”, seperti firman Allah yang artinya :
“Barangsiapa yang mengerjakan amal salih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, saka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.
1) Amal Salih;
Jika kita cermati maksud dari ayat tersebut di atas maka kita akan memperoleh informasi yang aktual dari Allah SWT. Amal Salih merupakan syarat utama dan pertama bagi siapapun yang ingin meraih hayatan thoyyibah atau hidup bahagia. Istilah amal salih merupakan kalimat yang singkat dan padat, pengertiannya sangat luas yaitu mencakup berbagai macam perbuatan (aktivitas) atau pasif (tidak berbuat), perkataan atau tidak berkata (diam), yang pasti dalam membuahkan kemaslahatan atau kebaikan, baik untuk diri sendiri, keluarga, masyarakat luas, bangsa dan negara, bahkan kepada jamadi (benda-benda yang ada) dan juga kepada binatang. Karena Islam sebagai Rahmatan lil ‘aalamiin ajarannya tidak hanya sebatas peri kemanusiaan saja tetapi juga menyangkut peri kebangsaan.
Allah SWT membatasi antara amal salih dan amal yang thalih (tidak baik) dengan kalimat yang singkat dan padat, yakni : “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (Al Qashash/28 : 77).
Dengan menggunakan akal yang sehat, sesungguhnya manusia bisa memilih dan memilah mana yang termasuk amal salih dan mana yang tergolong tidak salih. Kekerasan dalam keluarga, terhadap anak didiknya, mahasiswanya apalagi melakukan sesuatu yang menjadikan sebab kematiannya. Itu semua bukan perbuatan orang yang berakal sehat. Termasuk juga bom bunuh diri, merusak atau membakar bangunan-bangunan yang sudah berdiri, mengancam orang yang tidak sefaham dengannya dan lain sebaginya.
1) Mukmin;
Kemukminan seseorang sebagai unsur penting dalam memperoleh hayatan thoyyibah dikandung maksud agar bentuk-bentuk amal salih yang sudah dirintis lebih dahulu tidak mandeg di tengah jalan dengan berbagai alasan, utamanya lepas dari interaksi dengan Rabbal ‘aalamiin. Bahkan tidak mustahil kalau amal perbuatan manusia itu lepas dari landasan iman, amal salih itu akan menjadi “habaa’an mantsuura” (debu yang beterbang-an/QS. Al Furqan/25 : 23) atau “habaa’an munbatstsa” (debu yang beterbangan/QS. Al Waqi’ah/56 : 6).
Berbicara tentang hayatan thoyyibah, Sayid Qurthubi dalam tafsirnya “Al Jami’ul Ahkamil Qur’an” memperinci unsur-unsur kehidupan yang thoyyibah harus memenuhi beberapa unsur, antara lain :
a)Rizki yang halal dan thoyyib;
Kita telah sepakat bahwa semua jenis makanan yang dikonsumsi manusia itu cepat atau lambat mempunyai pengaruh fisik dan psychis terhadap konsumennya. Karena Allah SWT yang mempunyai sifat allamul ghuyub mengharamkan sesuatu, maka pasti bila hal itu dilanggar tidak akan mendatangkan kebaikan terhadap fisik maupun psychis si pelanggar. Dalam hal ini, kadang-kadang kita dibuat tercengang oleh kenyataan bahwa semua rumah sakit memperluas akomodasinya agar dapat menampung pasien, ternyata bertambahnya pasien jauh lebih cepat daripada dibangunnya gedung yang akan menampungnya.
- b) Qana’ah;
Qona’ah adalah sifat yang melekat pada seseorang, merasa cukup apa yang ada padanya sebagai hasil ikhtiar maksimal. Seperti kita ketahui bahwa manusia itu mempunyai tabi’at merasa tidak puas dengan apa yang sudah ada di tangannya, seperti disinyalir oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya :
“Seandainya manusia mempunyai 2 (dua) lembah penuh emas, maka dia menghendaki mempunyai lembah emas yang ke-3 (tiga) dan kalau sudah 3 (tiga) lembag emas dimiliki pasti dia menhendaki mempunyai lembah emas yang ke-4 (empat). Perasaan tidak puas itu baru berakhir jika jasadnya sudah dimasukkan ke dalam tanah”. (HR. Bukhari-Muslim)
Orang yang tidak mempunyai sifat qana’ah betapapun banyaknya karunia Allah yang sudah dituangkan kepadanya maka dianggapnya kecil dan sedikit, tidak pernah keluar kalimat Alhamdulillah dari lisan orang yang tidak qana’ah (rakus). Mereka mulai bangun tidur sampai tidur kembali dan bahkan dalam tidurnya pun bermimpi dapat menguasai seluruh jagat raya ini.
Jika manusia sudah sampai pada model seperti ini, maka akan terjadi ungkapan sebagai pedoman hidup mereka, yakni : “Wal wal geduwal, embuh haram embuh halal, embuh kasur embuh bantal, embuh lengo embuh aspal, semuanya dimakan”. Dalam bahasa Indonesianya : “Tidak peduli haram atau halal, tidak peduli kasur atau bantal, tidak pandang itu minyak atau aspal, semuanya dimakan”.
Sebagai bagian akhir dari uraian di atas, ada baiknya kami sampai khulashohnya, yaitu bagi semua orang yang berakal sehat pasti menginginkan dapat meraih “Hayatan Thoyyibah”, hidup yang bahagia, tenteram sejahtera, a good life. Dalam hal ini fakta berbicara bahwa hayatan thoyyibah tidak ditentukan oleh banyaknya harta yang dikumpulkan, bukan ditentukan oleh jabatan tinggi yang ia duduki, namun hayatan thoyyibah hanya bisa diraih dengan 2 (dua) cara, yaitu : memiliki iman yang dinamis dan amal salih. Karena hanya iman dan amal salih yang dapat menghantarkan kita memperoleh kebahagiaan, maka kita wajib menjaga dan meningkatkan iman dan amal salih kapanpun dan di manapun.
Mudah-mudahan Allah SWT memasukkan kita ke dalam golongan insan yang berhak memperoleh kebahagiaan, baik bahagia di dunia maupun di akhirat serta memperoleh ridha Allah SWT. Aamiin ya Mujiibas saa’iliin. *****
—————————————–
*) KH. Drs. Mustaghfiri Asror;Ketua Bidang Takmir Masjid Raya Baiturrahman Simpanglima Semarang
Copyright 2021-2024, All Rights Reserved
Leave Your Comments