ARTI ITSAR (MEMENTINGKAN ORANG LAIN) Oleh : Prof. Dr. HM. Amin Syukur, MA. *)

Itsar berarti mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri sendiri. Ia adalah salah satu manfaat diniyyah (keagamaan) yang terwujud bila terjalin ukhuwah diantara orang yang seakidah. Bisa juga dikatakan sebagai wujud maksimal ukhuwah islamiyyah dalam rangka menggapai ridla Allah. Dari segi fitrah setiap manusia yang masih terjaga fitrahnya juga dapat berbuat mulia, mementingkan orang lain bukan diri sendiri serta menolong orang lain tanpa memikirkan diri sendiri, memperhatikan kepada orang yang dalam kesulitan, orang teraniaya yang membutuhkan pertolongan (fuqara, masakin dan madhlum)).

Itsar adalah sikap terpuji yg diperintahkan al-Quran. Seperti kaum Anshar di Madinah ketika menerima kaum Muhajirin. Mereka lebih mengutamakan kaum Muhajirin, padahal mereka hidup dalam kesusahan. Allah memuji:“… mereka mengutamakan (Muhajirin), daripada diri sendiri, sekalipun dalam kesusahan.” (QS. al-Hasyr [59]: 9). Ia salah satu dari akhlak mulia. Yang demikian itu adalah akhlak Rasulullah, sehingga Allah menamakannya dengan khuluqun adzim: “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At-Taubah [9]: 128) Ayat ini menjelaskan sifat-sifat beliau berempati pada penderitaan orang lain, senantiasa menginginkan kebaikan bagi orang lain dan santun, pengasih dan penyayang terhadap sesama Muslim : أيُّمَا امْرِئٍ اشْتَهَى شَهْؤَةً فَرَدَّ شَهْؤَتَهُ وَاَثَرُ عَلىَ نَفْسِهِ غُفِرَ لَهُ.

“Manusia manapun yang memiliki suatu keinginan lalu ditolaknya keinginan itu dan ia mengutamakan orang lain dari dirinya sendiri niscaya diampunkan dosanya.” (HR. Ibnu Hibban dan Abusy Syaikh)

Keutamaan orang yang berbuat itsar di dunia ia akan dicintai orang-orang yang pernah merasakan kebaikannya dan mempererat ukhuwah serta di akhirat nanti akan mendapatkan mimbar yang terbuat dari cahaya, naungan, dan lindungan Allah. Dalam manifestasi orang-orang mukmin yang sejati, Imam Ja’far as-Shadiq berkata: “Mereka adalah orang-orang yang berbuat kebajikan kepada saudara-saudaranya dalam keadaan kesulitan dan kemudahan, mereka mengutamakan orang lain atas diri mereka dalam keadaan kesulitan.”

Itsar tidak mengharapkan pujian. Syaqiq ibn Ibrahim yang dikutip as-Samarqandi dalam kitab Tanbihul Ghafilin memberikan saran ada tiga hal untuk membentengi diri: pertama, merasa bahwa taufik dan hidayah datang dari Allah semata, agar tidak takabur. Kedua, diniatkan untuk mendapatkan keridlaan-Nya, untuk mematahkan bahwa nafsu yang selalu menggoda untuk melakukan kemaksiatan. Ketiga, setiap pekerjaan harus mengharapkan pahala dari Allah, untuk menghindari sifat riya’ dan tamak. Baginya tidak perlu lagi apa-apa karena Allah sudah memberinya pahala atas pekerjaannya itu. Dengan ketiganya maka pekerjaan itu dapat dilakukan secara ikhlas kepada Allah semata.

Itsar dalam realitas sosial, di riwayat dari Imam an-Nasa’i dikisahkan tentang bagaimana Sa’d ibn al-Rabi’ bersedia membagi rata harta kekayaannya kepada Abdurrahman bin Auf. Bahkan kalau Abdurrahman mau, Sa’d bersedia pula menceraikan salah seorang istrinya untuk kemudian dipersunting Abdurrahman. Tawaran Sa’d itu akhirnya ditolak secara halus oleh Abdurrahman, karena dia tak ingin membebani Sa’d. Ia hanya minta diantarkan ke pasar untuk mencoba menjalani kehidupan barunya di Madinah dengan keringatnya sendiri. Namun semangat dari sikap ini memperlihatkan betapa Sa’d tidak segan-segan membantu saudaranya tanpa mengharap imbalan apa pun.

Kisah lain tentang keluarga Ali ibn Abi Thalib. Ketika anaknya Hasan dan Husein sakit, Ali dan istrinya Fatimah binti Rasulullah bernadzar akan berpuasa tiga hari jika kedua anaknya itu sembuh, setelah Hasan dan Husein sembuh, mereka melaksanakan nadzar tersebut.

Pada saat keduanya akan berbuka puasa, datang seorang miskin yang kelaparan. Ali akhirnya memberi makanannya itu kepada si miskin. Pada hari kedua, terjadi lagi hal yang sama. Datang seorang anak yatim mengharapkan sesuap nasi. Alipun tak tega melihatnya. Demikian juga pada hari ketiga, datang seorang tawanan musyrik. Lagi-lagi Ali kembali memberikan makanannya kepada tawanan itu.

Apa yang dilakukan Ali dan istrinya, menurut sebagian ahli tafsir asbabun nuzul surat al-Insaan (76): 7-10, termasuk pada “Mereka memberikan makanan yang mereka sukai untuk orang miskin, anak yatim, dan tawanan perang. (Mereka berkata), sesungguhnya kami memberikan makanan ini hanya mengharap keridlaan Allah, tidak menghendaki balasan atau ucapan terima kasih.” Dari ayat di atas juga terdapat isyarat bahwa itsar harus dilakukan karena Allah tidak mengharap balasan apa pun dari manusia. Kalau membantu orang lain tapi dengan maksud-maksud tertentu di balik perbuatannya, maka ia tidak akan mendapatkan apa-apa dan perbuatannya hanya sia-sia. Di sini yang dibutuhkan adalah sikap ikhlas, lillahi ta`ala.

Demikian, semoga manfaat. Wallahu a’lam bishshawaab.

Leave Your Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright 2021-2024, All Rights Reserved